biografi pimpinan majlis rasulullah saw
Nama
beliau adalah Habib Munzir bin Fuad al-Musawa lahir di Cipanas, Cianjur, Jawa
Barat, 23 Februari 1973 Masehi (19 Muharram 1393 H) dan meninggal di Jakarta,
15 September 2013 (10 Zulqoidah 1434 H) pada umur 40 tahun. Beliau dikenal
sebagai Pimpinan Majelis Rasulullah SAW yang dakwahnya menjangkau berbagai
wilayah di Indonesia, beberapa wilayah nusantara dan dunia.
Munzir adalah murid
yang begitu disayangi oleh gurunya Umar bin Hafidz, sedangkan kalangan pemuda
muslim yang mengenalnya tidak jarang menjadikan ia sebagai panutan ataupun
idola dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Dakwahnya di Indonesia juga
tercatat sering di hadiri tokoh-tokoh nasional seperti Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Suryadharma Ali , Fadel Muhammad, Fauzi
Bowo dan lain-lain. Istri beliau bernama Syarifah Khadijah Al-Juneid dan punya
anak tiga bernama Fathimah al-Musawa, Muhammad al-Musawa dan Hasan al-Musawa
Masa kecil
Habib Munzir adalah
anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Fuad bin Abdurrahman al-Musawa
dan Rahmah binti Hasyim al-Musawa. Masa kecilnya dihabiskan di daerah Cipanas, Jawa
barat bersama saudara-saudaranya, Ramzy Fuad al-Musawa, Nabiel Al Musawa, Lulu
Fuad al-Musawa serta Aliyah Fuad al-Musawa.
Ayahnya lahir di Kota
Palembang dan dibesarkan di Mekkah al-Mukarromah, setelah lulus pendidikan
jurnalistik di New York University, Amerika Serikat, ayahnya kemudian bekerja
sebagai seorang wartawan luar negeri selama sekitar 40 tahun, berawal dari
harian Berita Yudha dan selanjutnya harian Berita buana. Pada tahun 1996
ayahnya wafat dan dimakamkan di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
Seusai menyelesaikan
sekolah menengah atas (SMA), Habib Munzir mulai mendalami Ilmu Syariat Islam di
Ma’had Assafaqah, yang ketika itu di pimpin Al-Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit
Duri, Tebet, Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus Bahasa Arab di LPBA
Assalafy Jakarta Timur, lalu memperdalam lagi Syari’ah Islamiyah di Ma’had
al-Khairat, Bekasi Timur.
Keilmuan Syariahnya
kemudian lebih didalami di Ma’had Dar-al Musthafa, Tarim, Hadhramaut, Yaman,
selama empat tahun, disana Habib Munzir mendalami Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir
Al-Qur’an, Ilmu Hadits, Ilmu Sejarah, Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawuf,
Mahabbaturrasul, Ilmu Dakwah, dan berbagai Ilmu Syari’ah lainnya.
Putus Sekolah
Dimasa baligh, ia pernah
putus sekolah, Munzir muda lebih senang hadir majelis maulid Almarhum Al Arif
billah Al-habib Umar bin Hud al-Attas, dan Majelis taklim kamis sore di Empang,
Bogor, yang pada masa itu membahas kajian Fathul Baari oleh Al-Habib Husein bin
Abdullah bin Muhsin al-Attas. Sementara pada masa yang hampir bersamaan
saudara-saudara kandungnya berhasil membanggakan orangtua mereka dalam meraih
prestasi wisuda. Hal ini mengundang kekecewaan kedua orangtua Munzir muda.
Ayahnya pernah berkata
“Kau ini mau jadi apa? jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai
keluar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai keluar negeri,
namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak
menemukan keberuntungan apa-apa dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung
negeri barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa
sukses di dunia kecuali dg kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan
aku menghindari itu.”
Menurut Habib Munzir,
itulah yang mendorong almarhum ayahnya lebih memilih hidup dalam kesederhanaan
di cipanas, cianjur, Puncak, Jawa barat. Ayahnya (Al-Habib Fuad bin Abdurrahman
al-Musawa) lebih senang menyendiri dari ibukota, membesarkan anak-anaknya, mengajari
anak-anaknya mengaji, ratib, dan shalat berjamaah. Habib Munzir merasa sangat
mengecewakan kedua orangtuanya karena belum memiliki cita-cita yang pasti,
dunia tidak akhirat pun tidak.
Munzir muda selalu merindukan pantunannya, Rasulullah Sallallahu
Alaihi Wasallam
Melewati masa-masa berat
di awal kedewasaannya, yang didorong rasa bersalah sebab membuat ayahnya merasa
malu karena pengangguran, sebagai seorang pemuda muslim, Munzir muda mengisi
sisa harinya dengan bershalawat 1000 siang 1000 malam, zikir beribu kali, dan
puasa nabi daud as, dan shalat malam berjam-jam.
Munzir muda sangat
mencintai Rasulullah, sering menangis merindukan Rasulullah, dan sering
dikunjungi Rasulullah dalam mimpinya. “Rasulullah selalu menghibur saya jika
saya sedih, suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau, dan
berkata wahai Rasulullah aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan
mataku ini asal bisa jumpa dgn mu, atau matikan aku sekarang, aku tersiksa di
dunia ini, Rasulullah menepuk bahu saya dan berkata: Munzir, tenanglah, sebelum
usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa denganku, Maka saya terbangun”.
Menjadi Pelayan Losmen
Ketika ayahnya memasuki
masa pensiun, ibunya membangun losmen kecil-kecilan berkapasitas 5 kamar di
depan rumah mereka untuk disewakan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, disini
Munzir muda yang menjadi pelayan untuk losmen yang disewakan secara khusus bagi
orang yang mereka anggap baik-baik yang membutuhkannya.
Sebagai penjaga losmen
pada lazimnya, setiap malam Munzir muda jarang tidur, sedangkan masa berat yang
sedang dilaluinya membuat Munzir muda sering duduk termenung dikursi penerimaan
tamu yang dengan meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam. Ia melewati malam
demi malam menjaga dan melayani losemen milik keluarga, sambil menanti tamu,
sambil tafakkur, merenung, melamun, berdzikir, menangis dan shalat malam.
Penyakit asma & Kursus Bahasa Arab
Dituturkan Habib Munzir
bahwa siang hari ketika ia sedang puasa Nabi Daud as, ia dilanda sakit asma
yang parah, dan hal itu semakin membuat kedua orangtuanya kecewa, berkata
ibunda “kalau kata orang, jika banyak anak, mesti ada satu yg gagal, ibu tak
mau percaya pada ucapan itu, tapi apakah ucapan itu kebenaran?.”
Munzir muda terus menjadi
pelayan di losmen keluarganya, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar,
membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh,
kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu.
Sampai semua kakaknya
lulus sarjana, kemudian ia tergugah untuk mondok di pesantren. Disini Munzir
muda memilih untuk berangkat ke pesantren asuhan Al-Habib Umar bin Abdurrahman
Assegaf di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, akan tetapi hanya berlangsung
sekitar dua bulan saja karena Munzir muda merasa tidak betah dan sering
sakit-sakitan yang disebabkan penyakit asmanya selalu kambuh, kemudian Munzir
muda pulang.
Mendengar berita itu
ayahnya semakin bertambah malu, ibunya semakin sedih, tidak lama kemudian
Munzir muda memutuskan untuk kursus bahasa arab di tempat kursus bahasa arab
assalafi, pimpinan Almarhum Al-Habib Bagir al-Attas, ayah dari Al-Habib Hud
al-Attas yang dituturkan sering hadir di Majelis Rasulullah di Masjid Raya Al
Munawar, Pancoran, Jakarta Selatan.
Habib Munzir ketika itu
pulang pergi jakarta- cipanas dengan waktu tempuh dalam 2-3 jam, setiap dua
kali seminggu, dengan biaya perjalanan yang didapatkan dari penghasilan
penyewaan losmen. Habib Munzir juga selalu menghadiri maulid di almarhum Al
Arif Billah Al-Habib Umar bin Hud al-Attas yang saat itu di cipayung, walaupun
harus menumpang dengan truk ataupun kehujanan.
Di masa itu ia sering
datang ke maulidnya malam jumat dalam keadaan basah kuyup, hingga suatu hari
pernah diusir oleh pembantu rumah, karena karpet tebal dan mahal yang sangat
bersih, menanggapi hal itu Habib Munzir terpaksa berdiri saja berteduh dibawah
pohon sampai hujan berhenti dan tamu-tamu berdatangan untuk bergabung dan duduk
di luar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.
Ziarah makam Husein bin Abu bakar al-Aydrus Luar Batang
Suatu kali Habib Munzir
datang langsung dari cipanas untuk berziarah dan lupa membawa peci, dalam
hatinya terbersit do’a “Wahai Allah, aku datang sebagai tamu seorang wali-Mu,
tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci, tapi uangku pas-pasan, dan aku
lapar, kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang”.
Dengan itu ia memutuskan untuk beranjak sejenak membeli peci yang termurah saat
itu di emperan penjual peci dan memilih yang berwarna hijau.
Kemudian masuk berziarah,
sambil membaca Surah Ya Sin untuk dihadiahkan pada almarhum, menangisi
kehidupan yang penuh ketidaktentuan, mengecewakan orangtua, dan selalu lari
dari sanak kerabat, karena tidak jarang menerima cemooh tentang kakak-kakaknya
yang semua sukses, ayah lulusan Mekkah sekaligus New York University, sementara
Munzir Muda adalah centeng losmen. Dalam renungannya ketika berziarah ia
menyadari telah menghindari kerabat, lebaranpun jarang berani datang, karena
akan terus diteror dan dicemooh.
Dalam tangis itu berkata
dalam hatinya,”wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab
padamu, hamba yang shalih disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan
tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang”.
Ketika sedang merenung,
diceritakan datanglah rombongan teman-teman belia yang pesantren di Al-Habib
Umar bin Abdurrahman Assegaf dengan satu mobil, para santi itu senang berjumpa
dengannya, kemudian ia ditraktir makan, seketika teringat olehnya berkah
beradab di makam wali Allah.
Saat itu dituturkan Habib
munzir ada yang bertanya ia sedang dengan siapa dan mau kemana, ia menjawab
dengan mengatakan sendiri dan mau pulang ke kerabat ibunya di pasar sawo, Kebun
Nanas, Jakarta Selatan.
Mendengar itu mereka
berkata “Ayo bareng saja, kita antar sampai kebon nanas,” maka Habib Munzir
semakin bersyukur, karena memang ongkosnya saat itu tidak akan cukup jika
pulang ke cipanas, larut malam sampai di kediaman bibi dari Ibunya, di ps sawo
Kebun Nanas, Jakarta Selatan, lalu esoknya ia diberi uang cukup untuk pulang,
kemudian pulang ke cipanas. Sembari berdo’a “wahai Allah, pertemukan saya
dengan guru dari orang yg paling dicintai Rasulullah”.
Kunjungan
Selang beberapa waktu
setelah ziarah, kemudian ia masuk pesantren Al-Habib Hamid Nagib bin Syeikh
Abubakar di Bekasi Timur, ia selalu menangis dan berdo’a kepada Allah swt dan
rindu kepada Rasulullah SAW dan meminta untuk dipertemukan dengan guru yang
paling dicintai Rasulullah SAW saat mahal qiyam maulid. Dalam beberapa bulan
kemudian datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidz. ke
pondok itu, kunjungan pertama ia yaitu pada 1994.
Habib Munzir berkata
“Selepas ia menyampaikan ceramah, ia melirik saya dengan tajam, saya hanya
menangis memandangi wajah sejuk itu, lalu saat ia sudah naik ke mobil bersama
almarhum Alhabib Umar maulakhela, maka Guru Mulia memanggil Habib Nagib Bin
Syeikh Abubakar, Guru mulia berkata bahwa ia ingin saya dikirim ke Tarim
Hadramaut, Yaman untuk belajar dan menjadi muridnya”
Guru saya Habib Nagib bin
Syeikh Abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa arab,
murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin ia salah pilih..? Maka guru mulia
menunjuk saya. Itu… anak muda yang pakai peci hijau itu..! Itu yang saya
inginkan. Maka Guru saya Habib Nagib memanggil saya untuk jumpa ia, lalu guru
mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka : siapa namamu?,
dalam bahasa arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak faham, maka guru
saya Habib Nagib menjawab : kau ditanya siapa namamu..!, maka saya jawab nama
saya, lalu guru mulia tersenyum..”
Keesokan harinya Habib
Munzir berjumpa lagi dengan Al-Habib Umar bin Hafidz di kediaman Almarhum
Al-Habib Bagir al-Attas, saat itu banyak para Habaib dan Ulama mengajukan
anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Al-Habib Umar bin Hafidz. Berkata
Habib Munzir “Maka guru mulia mengangguk angguk sambil kebingungan menghadapi
serbuan mereka, lalu guru mulia melihat saya dikejauhan, lalu ia berkata pada
almarhum Habib Umar Maula Khela : ” Itu.. anak itu.. jangan lupa dicatat.. Ia yang
pakai peci hijau itu..! Guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur
guru saya Habib Nagib bin Syeikh Abubakar, seraya berkata : “Wahai Munzir, kau
harus siap-siap dan bersungguh sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau
tak akan berangkat sebelum siap..”
Berangkat ke Tarim
Sekitar dua bulan setelah
pertemuan dengan Al-Habib Umar bin Hafidz, datanglah Almarhum Al-Habib Umar
Maulakhela ke pesantren dan menanyakan tentang Habib Munzir, Almarhum Al-Habib
Umar Maulakhela berkata pada Al-Habib Nagib: “Mana itu Munzir, anaknya Al-Habib
Fuad al-Musawa? Dia harus berangkat minggu ini, Saya ditugasi untuk
memberangkatkannya.” Saat itu Habib Munzir berkata: “Saya belum siap”
Namun Almarhum Al-Habib
Umar Maulakhela dengan tegas menjawab :”Saya tidak mau tahu, namanya sudah
tercantum untuk harus berangkat, ini permintaan Al-Habib Umar bin Hafidz, ia
harus berangkat dalam dua minggu ini bersama rombongan pertama”.
Kemudian Habib Munzir
bergegas mempersiapkan paspor dan lain-lainya. Ayahnya sempat keberatan dan
berkata: “Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak
teman disana, namun ke Hadhramaut itu ayah tak ada kenalan, disana negeri
tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yang menjaminmu?”
Menanggapi hal ini Habib
Munzir mengadukannya kepada Almarhum Al-Arif Billah Al-Habib Umar bin Hud
al-Attas, yang saat itu sudah sangat sepuh dan kemudian berkata: “Katakan pada
ayahmu, saya yang menjaminmu, Berangkatlah.” Setelah mendengar nasehat Al Habib
Umar bin Hud al-Attas, Habib Munzir menemui ayahnya, namun hanya diam, hatinya
berat melepas keberangkatan Habib Munzir.
Munzir di Tarim
Ketika berada di Tarim,
Hadhramaut, Yaman, pernah terjadi perang Yaman Utara dan Yaman Selatan, hal ini
memicu kekurangan pasokan makanan, matinya listrik, semua pelajar ketika itu
menempuh perjalanan untuk taklim dengan jarak sekitar 3-4 km.
Dua tahun kemudian setelah
di Yaman, ketika menuntut ilmu di Dar-al Musthafa, pesantren yang di asuh oleh
Al-Habib Umar bin Hafidz, dikabarkan bahwa ayahnya sakit dan menelepon seraya
berkata: “Kapan kau pulang wahai anakku? Aku rindu”. Habib Munzir menjawab:
“Dua tahun lagi insya Allah”. Ayahnya menjawab: “Duh…masih lama sekali anakku”.
Tiga hari berselang ayahnya dikabarkan wafat.
Kembali Ke Jakarta & Mulai Berdakwah
Habib Munzir kembali ke
Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah sendiri di Cipanas. Namun karena
kurang berkembang, ia memindahkan dakwahnya ke Jakarta pada Majelis Malam
Selasa, dengan mengunjungi rumah-rumah murid sekaligus teman, murid-muridnya
lebih tua darinya dan berasal dari kalangan awam.
Ketika kemudian dimulai
Maulid Dhiya’ullami jama’ah semakin banyak, selanjutnya majelis mulai
berpindah-pindah dari musholla ke musholla, semakin terus bertambah banyak,
maka mulailah majelis dari masjid ke masjid. Sehingga Habib Munzir mulai membuka
majelis di malam lainnya dan menetapkannya di Masjid Al-Munawar. Majelis
semakin berkembang hingga mulai membutuhkan kop surat, undangan dan sebagainya.
Semenjak itu mulai muncul ide pemberian nama, para jamaahnya mengusulkan
memberikan nama Majelis Habib Munzir, namun ia menolak lantas menetapkan nama
Majelis Rasulullah.
Dakwahnya Habib Munzir
semakin meluas hingga jutaan jamaah yang menyentuh semua kalangan dan berbagai
wilayah, mulai dari Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
Mataram, kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, hingga sampai ke
Jepang.
Munzir menutup usia
Menurut penuturan anak
kedua dari Habib Munzir, pada hari Minggu sebelum meninggalnya ayahnya, dirumah
mereka sedang ramai dikarenakan ada pengajian Majelis An-Nisa Rasulullah SAW.
Beberapa saat keluarga sempat mencari-cari Habib Munzir karena tidak diketahui
sedang dimana, sementara sandal dan mobilnya masih ada dirumah. Ketika pintu
kamar mandi diketuk dan tidak ada sahutan, akhirnya pintu di dobrak dan ditemui
Habib Munzir sudah tidak sadarkan diri.
Habib Munzir pun dilarikan
ke Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, berselang dua jam kemudian setelah
menjalani pemeriksaan medis kata dokter ia telah tiada, Menurut penuturan
kerabatnya, Habib Munzir meninggal karena serangan jantung. Kabar Meninggalnya
Habib Munzir menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru Indonesia, salah satu
sumber beritanya adalah akun twitter kakaknya Al-Habib Nabiel Al Musawa. dan
juga situs resmi Majelis Rasulullah.
Habib Munzir yang memiliki
penyakit asma kronis sejak kecil dan sering keluar-masuk rumah sakit. Pada Juni
tahun 2012 Habib Munzir pernah rebah tidak berdaya diruang opname Rumah Sakit
Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dengan mesin deteksi jantung disampingnya.
Berdasarkan berita pada situs resmi Majelis Rasulullah, bertanggal 20 Juni 2012
bahwa semalam sebelumnya, yakni pada 19 Juni 2012 Habib Munzir keluar dengan
paksa dan memaksakan dirinya untuk berangkat ke majelis, yang ternyata majelis
itu teramat jauh, berkisar 1 jam dari ujung tol Cikampek, 200 km jarak tempuh
diperkirakan pergi dan pulang, habib sangat kelelahan dan sangat tidak
menyangka jarak majelis sejauh itu. Ditanggal 20 Juni 2012 ia selesai
melaksanakan operasi Jantung esoknya hari kamis ia keluar paksa dari RSCM karena
“Suatu Hal”.
Sebelum meninggal, Habib
Munzir juga pernah dioperasi karena ada cairan di perutnya. Penyakit tersebut
sempat menganggu aktivitas Habib Munzir dalam berdakwah. Meskipun sedang
dirundung rasa sakit, soal urusan dakwah, Habib Munzir, menurut kakaknya Nabil,
tidak pernah memikirkan sakitnya.
Ribuan jamaah berdatangan
ke rumah duka almarhum Habib Munzir al-Musawwa di kompleks liga mas, Pancoran,
Jakarta Selatan, pada hari Minggu, 15 September 2013. Arus lalu lintas menuju
rumah duka di kompleks Liga Mas sempat mengalami kemacetan. Jalan Raya Pasar
Minggu mulai dibanjiri manusia dan menyebabkan arus lalu lintas tersendat.
Antrian kendaraan mengular hingga ke jalan MT Haryono arah Pancoran. Selain
itu, kemacetan juga disebabkan, karena banyaknya pelayat yang memarkir motornya
di Masjid Al Munawar, yang berdekatan dengan rumah duka. Diberitakan juga bahwa
puluhan anggota polisi tampak berjaga dan mengatur arus lalu lintas.
Sebelum dikebumikan,
jenazah Habib Munzir disemayamkan di Masjid Al-Munawar sebelum akhirnya dibawa
ke masjid di TPU Habib Kuncung, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan untuk
dishalatkan secara berjamaah oleh ribuan jamaah Majelis Rasulullah yang
dipimpin Al-Habib Nagib bin Syekh Abu Bakar.
Habib Munzir dimakamkan di
pemakaman umum Habib Kuncung di Kalibata pada hari
Komentar
Posting Komentar